“MERDEKA BERDESA” , Tuntutan Keberanian Seorang Kepala Desa

Eep Saepul Malik, S.Pd.I

PURWAKARTA,WartaDesa Tv – Konsep kunci pembangunan untuk memahami frasa “membangun desa” dan “desa membangun” tidak dikenal dalam wacana dan teori pembangunan. Konsep pembangunan desa sebenarnya tidak dikenal dalam literatur pembangunan. Secara historis, pembangunan desa merupakan kreasi dan ikon Orde Baru, yang muncul pada Pelita I (1969-1974) yang melahirkan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa di Departemen Dalam Negeri. Namun pada pertengahan 1980-an pembangunan desa kemudian diubah menjadi pembangunan masyarakat desa, sebab pembangunan desa sebelumnya hanya berorientasi pada pembangunan fisik, kurang menyentuh masyarakat. 
Direktorat Jenderal Bangdes juga berubah menjadi Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, namun arus pemberdayaan yang hadir pada tahun 1990-annomenklatur juga berubah menjadi Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang bertahan sampai sekarang. Ditjen ini masih akrab dengan nomenklatur pembangunan desa, karena pembangunan desa tertuang dalam PP No. 72/2005. Baik RPJMN maupun institusi Bappenas dan kementerian lain sama sekali tidak mengenal pembangunan desa, melainkan mengenal pembangunan perdesaan dan pemberdayaan masyarakat (desa). 
Baca juga:
Pembangunan desa tidak lagi menjadi agenda nasional tetapi dilokalisir menjadi domain dan urusan desa.
Desa dalam UU No 6 Tahun 2014 menjelma sebagai Superior Capacity dalam menentukan arah kebijakan pembangunan Desa dalam frasa “Desa Membangun”, Desa membangun adalah spirit UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. 
UU Desa menempatkan desa sebagai subyek pembangunan.
Pemerintah supradesa menjadi pihak yang memfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan subsidiaritas. Supra desa tak perlu takut dengan konsekuensi pemberlakukan kedua azas tersebut. 
Dengan menjadi subyek pembangunan justru desa tidak lagi akan menjadi entitas yang merepotkan tugas pokok pemerintah kabupaten, provinsi bahkan pusat. Justru desa akan menjadi entitas negara yang berpotensi mendekatkan peran negara dalam membangun kesejahteraan, kemakmuran dan kedaulatan bangsa baik di mata warga negaranya sendiri maupun negara lain.
Tahun 2015 adalah tahun pertama dilaksanakannya UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Desa akan diberlakukan berbeda dari sebelumnya. Kedudukan desa tidak lagi bersifat subnasional, melainkan berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Desa juga tidak lagi berada di bawah struktur administratif terbawah apalagi perpanjangan tangan dari pemerintah daerah. 
Desa juga mendapat rekognisi dan subsidiaritas kewengan yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.   Di samping itu desa akan menerima transfer keuangan dari APBN dan APBD yang disebut Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk memenuhi kebutuhan belanja dalam skup dua kewenangan tadi.
Jadi jelas skema “Desa Membangun” ini ujung tombaknya ada pada perangkat penggerak desa, sebut saja para supra desa yang harus handal dan berkualitas, langkah-lam=ngkah Desa dalam menjawab Tantangan UU No 6 2014 tersebut adalah membangun kemandirian desa terlebih dahulu (bukan desa mandiri yang tertuang dalam SK IDM ya ), seperti apa sih langkah2 membangun kemandirian Desa itu.?
Baca Juga :
Pertama; Membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kriti dan dinamis.  Proses pembentukan bangunan warga dan organisasi masyarakat sipil biasanya dipengaruhi oleh factor eksternal yang mengancam hak publik. Meski demikian, keduanya adalah modal penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan titik awal terciptanya komunitas warga desa yang nantinya akan menjadi kekuatan penyeimbang atas munculnya kebijakan publikl yang tidak responsive masyarakat. Di desa sebenarnya sudah banyak lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Kelembagaan tersebut secara umum terbagi dalam dua jenis, lembaga korporatis dan non korporatis. Lembaga korporatis identik dengan organisasi masyarakat desa yang dibentuk oleh negara. Contohnya, PKK, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Perlindungan Masyarakat (LINMAS) dan kelompok tani, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang akhir-akhir ini menjamur seiring masuknya program masuk desa dari Kementerian/ Lembaga (K/L). Sementara, yang non korporatis adalah organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat. Contohnya, majelis taklim (kelompok pengajian yasin tahlil), Paguyuban (semacam perkumpulan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah), organisasi adat dan kelompok seni rakyat.
Kedua: Melakukan assessment dan pemetaan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa.Tujuannya apa? Pertama, agar pemerintah desa mempunya data ada berapa, mana dan siapa saja sih organisasi kemasyarakatan desa yang masih aktif dan pasif. Kita mungkin akan bersepakat, bahwa tidak sedikit organisasi kemasyarakatan desa yang masih ada struktur organisasinya tapi sudah tidak ada lagi pengurusnya. Masih ada pengurusnya, ternyata tidak memiliki program dan kegiatan yang jelas. Karena itulah kedua, dengan pemetaan ini diharapkan desa akan memiliki baseline data tentang apa saja masalah dan potensi yang organisasi kemasyarakatan desa sehingga memungkinkan menjadi mitra strategis pemerintah desa dalam menjalankan mandat pembangunan.
Ketiga: Mengorganisasi dan memfasilitasi proses penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa melalui penyelenggaraan program/kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas organisasi tersebut. Hasil pemetaan tersebut sudah seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah desa untuk membuat seperangkat strategi kebijakan dan program desa untuk menguatkan peran organisasi kemasyarakatan desa dalam kerangka pembangunan desa. Caranya bagaimana? Tidak lain Pemerintah Desa harus mengakomodasi program/kegiatan penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa ke dalam dokumen peraturan desa tentang RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Bentuk kegiatan untuk penguatan kapasitas misalnya pelatihan managemen organisasi, mendorong restrukturisasi/ peremajaan pengurus organisasi, ataupun pemberian bantuan desa untuk organisasi kemasyarakatan desa.
Keempat: Pelibatan organisasi kemasyarakatan desa dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik yang diselenggarakan pemerintah desa. Berangkat dari kesadaran bersama sebagai entitas, desa tidak hanya terdiri dari pemerintah desa, tapi ada elemen masyarakat yang salah satunya terwakili melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan desa, maka setiap kebijakan strategis desa hendaknya dilandasai atas musyawarah mufakat semua elemen desa. Di samping itu salah satu yang menjamin peran dinamis organisasi masyarakat sipil di desa adalah pelibatan mereka ke dalam arena perumusan dan pengambilan kebijakan desa. Melalui cara ini, secara tidak langsung pemerintah desa telah mengedepankan prinsip penghormatan, partisipasi dan emansipasi warga dalam pembangunan. Dari sinilah nanti akan lahir proses check and balancies dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Maka dari itu langkah bijaksana untuk membangun desa mandiri adalah dengan melaksanakan peta jalan “desa membangun” sebagaimana telah terstruktur dalam UU Desa dan Nawa Cita tersebut. Langkah sederhananya pertama, mendorong lahirnya warga dan organisasi warga desa yang kritis, peduli dan berinteraksi dinamis dengan proses-proses pengambilan kebijakan pembangunan desa. Kedua, menjalankan sistem perencanaan dan penganggaran desa yang partisipatif, akuntabel, dan transparan sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki. Ketiga,memberdayakan lembaga dan kelembagaan ekonomi desa yang inklusif. 
Tambahan pula, kesuksesan pencapaian desa dilain pihak juga ditopang oleh implementasi system perencanaan, penganggaran dan pelaksanan anggaran desa yang partisipatif, tertib, efektif, efisien dan disertai monitoring yang baik.
(Disusun Oleh: Eep Saepul Malik, S.Pd.I
)
Referensi:
1. Undang-undang N0 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
2. Artikel Kemandirian Desa;
3. Pengalaman 5 Tahun jadi Pendamping Desa.
(Danas)

Komentar